Rabu, 12 September 2012

Bintang yang Mencari Sinarnya

     Setiap orang itu adalah bintang. Hanya saja ia tak punya sinar. Menurut hukum fisika, semua bintang memang memiliki sinarnya sendiri. Tetapi kehidupan tidak begitu. Manusia harus menemukan sinarnya untuk menjadi bintang yang sesungguhnya.

     Kemarin ada salah satu teman facebook yang update status pake bahasa Inggris. Well, karena gue nggak terlalu jago berbahasa Inggris jadi gue coba terjemahin ke dalam bahasa Indonesia aja. Jadi kira-kira statusnya itu kayak gini:

     "Orang-orang ingin jadi matahari buat bisa menyinari kamu. Tapi aku, aku lebih pilih jadi bulan, yang bisa menyinari kamu di saat gelap, di saat matahari itu nggak ada."
     Setelah itu gue pun memberi komentar, "Bulan tidak punya cahaya sendiri. Untuk bisa bersinar ia membutuhkan cahaya matahari."


     Dan beberapa menit kemudian gue liat status itu udah nggak ada. Mungkin udah dihapus. Kayaknya komentar gue cukup JLEB buat dia.

     Emang sih itu komentar kayaknya agak nyakitin. Gue sadar waktu tadi sore gue makan bakso di tempat favorit gue sama temen-temen sekolah gue, Aminah, Fadil dan Toni. Gue cerita ke mereka tentang status itu dan mereka bilang komentar gue cukup nyelekit.

     Sebenernya gue nganggep komentar itu biasa aja. Tapi ternyata persepsi cewek itu beda. Hal yang kadang kita anggap biasa, bisa jadi hal yang nggak biasa buat cewek.

     Persepsi gue tentang status dia tuh begini, dia pengen jadi bulan yang bisa menyinari dia di saat gelap. Artinya dia tuh cuma mau sekedar jadi pelarian aja. Misalnya di saat terang, artinya di saat orang yang dimaksud itu lagi bahagia. Maka dia nggak akan ada. Karena di sana bulan bakal ketutupan sama matahari. Tapi disaat matahari itu nggak ada, artinya gelap, dan berarti juga orang yang dimaksud lagi kesepian, sendirian dll. Barulah bulan itu bisa bersinar. Sayangnya sinar itu bukan dari dirinya. Orang yang dimaksud akan melihat bulan sebagai cerminan dari matahari dan akan melihatnya indah karena ada matahari. Intinya cuma sekedar pelarian kan. Kalo bisa jadi matahari, kenapa harus jadi bulan. Matahari bisa membuat bulan bersinar. Tapi bulan, jangankan menyinari matahari, menyinari diri sendiri aja gak bisa. Itu kalo menurut cara fikir gue.

     Tapi kalo menurut pemikiran dia, mungkin nggak seperti itu. Mungkin aja matahari itu adalah sosok yang sempurna. Orang lain mau jadi matahari, berarti orang itu menginginkan kesempurnaan untuk menyinari orang yang disayanginya. Tetapi dia, dia memilih jadi bulan, sesuatu yang nggak sempurna. Sesuatu yang mungkin nggak kelihatan waktu siang, karena terlalu banyak kekurangan yang ia miliki. Tetapi ia tetap berusaha menjadi sesuatu yang bermanfaat. Dengan segala ketidaksempurnaannya itu, dia masih bisa mencarikan cahaya untuk orang yang ia sayangi ketika sedang dalam kegelapan. Meskipun ia tidak sempurna, tetapi ia tetap berguna. Dan seharusnya manusia memang begitu. Manusia nggak ada yang sempurna, tetapi itu bukan alasan bagi manusia buat berhenti bermanfaat bagi yang lainnya. Iya nggak?

     Dan akhirnya gue sadar. Ternyata tujuan orang itu mengupdate status ingin jadi bulan gak seperti apa yang gue fikirkan. Dan gue salut sama orang itu. Karena di saat semua orang ingin jadi matahari, ia ingin jadi bulan.

     Untuk bisa bersinar, manusia itu harus mencari cahaya dari orang lain. Jadi seperti bulan yang memancarkan cahaya matahari. Cukup sederhana memang. Tetapi mencari cahaya dalam kehidupan tak semudah menyalakan lilin dengan korek api ketika lampu padam. Ini lebih terlihat seperti mencoba menyalakan api di dalam goa ketika sedang hujan. Kita perlu mencari kayu yang kering, kemudian menggeseknya sampai menjadi sepercik api.

     Dalam hidup, manusia akan mengalami masa-masa bersinar dan juga redup. Masa bersinar itu, di saat kita merasa sedang berada di puncak kebahagiaan. Di masa ini, kita akan menjalani hidup seperti tidak ada beban. Kita akan selalu ceria dan menghadapi hari esok dengan optimis. Kita akan percaya bahwa hari esok pasti ada, dan hidup tidak akan sia-sia.

     Tetapi hidup itu tidak selalu indah. Terkadang kita harus mengalami masa-masa bintang redup. Bintang redup itu, anggap saja kita sedang berada di suatu masa yang paling suram dalam hidup ini. Hidup dalam keterpurukan. Seperti besok tidak akan ada hari lagi. Atau jika besok ada hari, kita akan menjalani hari itu dengan rasa sesak yang sangat mendalam. Atau yang lebih buruk, kita akan berfikir kalau mati akan lebih baik daripada hidup seperti ini.

     Saat ini, gue adalah bintang redup yang melapisi diri dengan sinar palsu. Kayak senter yang menggunakan baterai. Dari luar gue mungkin terlihat ceria dan bahagia, menjalani hidup tanpa beban. Tapi siapa yang kira, bahwa di dalem diri gue, gue tak ubah seperti lilin yang tertiup angin, padam. Sedangkan malam begitu dingin. Gue butuh korek api untuk menyalakan lilin itu. Untuk bisa memberi dua hal, cahaya dan kehangatan. Cahaya itu seperti petunjuk dalam hidup. Dan kehangatan seperti kenyamanan dan rasa aman dalam hidup. Sedangkan kedua hal tersebut saat ini gue belum bisa mendapatkannya. Gue cuma bisa menggunakan senter untuk menerangi jalan.

     Di masa redup ini, ternyata gue nggak boleh putus semangat, apalagi sampai berfikir kalau mati itu lebih baik. Satu hal yang harus kita sadari, bahwa roda itu pasti akan terus berputar. Artinya kita nggak akan terus-menerus ada di bawah. Masa-masa cerah pasti akan datang lagi. Satu hal yang perlu kita lakukan hanyalah PERCAYA. Percaya kalau hari esok masih ada. Dan percaya bahwa Tuhan tak pernah tidur. Ia hanya sedang menanti saat yang tepat untuk menyinari bintang redup itu. Tugas kita adalah mencari cahaya itu dengan terus berusaha. Karena cahaya-cahaya itu letaknya di sekitar kita. Ia bisa jadi adalah seorang teman, sahabat, keluarga maupun orang-orang lainnya yang kita kasihi. Ingat! Kita hanya tinggal menemukan sinar itu. Dan semua akan kembali normal.

-Dc-

Tidak ada komentar: